Selasa, 20 Februari 2018

Ujian : cobaan atau test dr Tuhan

“Bro, ujian itu sesungguhnya adalah pengorbanan..

Ia hadir ketika kamu mencintai sesuatu secara berlebihan. Karena cinta berlebih adalah kelemahan. Dan semakin menguat rasa cintamu, semakin melemah pula pertahanan..

Begitulah yang akan terjadi pada hartamu, pada rupamu, pada keluargamu dan semua yang mengikat dirimu di dunia ini..

Berhati-hatilah ketika engkau mencintai sesuatu, karena ujian hanya menghantam pada titik terlemahmu.. “

Nasihat seorang sahabat selalu terngiang di telingaku, walau pemilik perkataan itu sudah lama berlalu.

“Gelombang ujian yang datang tidak akan melemah, justru semakin menguat. Ia akan terus menggerus kebanggaan sampai pada level penyerahan dirimu yang terkuat..

Lututmu akan tertekuk dan wajahmu menghantam bumi. Lalu luruhlah semua emosi. Engkau akan merasakan bahwa dirimu bukan siapa-siapa lagi. Hanya debu kecil yang tak berarti...”

“Cara Tuhan menundukkan manusia memang luar biasa. Dalam proses itu ada kengerian, kecemasan, rasa takut yang hebat dan ketidak-berdayaan.

Tetapi disana juga engkau akan merasakan kasih sayang, kelembutan, kesejukan dan kecintaan sejati yang bukan duniawi lagi...”

“Proses itulah yang akan menjadikan dirimu seorang lelaki sekaligus manusia sejati. Pada fase engkau menguasai dirimu kembali, maka tampaklah ketenangan dan kestabilan jiwamu yang membuatmu jauh lebih matang...”

Sobattku tersenyum waktu itu. Guratan wajahnya menunjukkan ia pernah melalui prosesnya yang membuatnya mengerti.

Selamat siang, guru sejatiku. Lanjutkanlah kembali perjalananmu ...

Jumat, 16 Februari 2018

Nyatanya atau Katanya

*CHEATING*

_dongeng sebelum bobo_
(Based From True Story)

Entah apa yang salah dengan kondisi kita saat ini, tapi rasa-rasanya nggak ada yang salah karena dari jaman Nabi Adam hingga sampai saat ini yang namanya dunia itu yah seperti ini, banyak kisah yang tidak semestinya terjadi tapi toh tetep saja dapat terjadi.

Apalagi kalau cuma masalah selingkuh dan penyelewengan jaman ini dapat dikatakan sebagai “masa keemasannya” karena didukung oleh begitu banyaknya komponen dan kesempatan untuk terjadinya penyelewengan oleh suami ataupun istri.

Cerita ini berawal dari sebuah kisah nyata yang dialami oleh seorang sahabat, sebutlah namanya Yono Juwono (nama samaran) kita singkat saja “YJ”.

Dia pria yang baik, dan menurut pandangan aku tidak ada yang salah sikap dan caranya untuk menjadi suami yang baik bagi istrinya yang bernama Berliana Hawa (nama samaran) kita singkat saja menjadi “Beha”.

Saking baiknya YJ sebagai suami, tidak pernah dia menolakapa pun yang menjadi keinginan Beha, sebagai bentuk kasih sayangnya sebagai suami.

Walaupun sudah demikian baik perlakuan dan perhatian YJ pada istrinya, ternyata hal tersebut tidak menghindarkannya dari kenyataan bahwa istrinya kedapatan dengan mata kepalanya sendiri berselingkuh dengan pria lain (berinisial RN).

Beng.... Beng!! Bummm!!.... bagai meriam meletus disamping kupingnya yang jarang dibersihkan YJ langsung merasa limbung seakan-akan kehilangan semua konsentrasi hidupnya menghadapi kenyataan ini.

Bahkan perih hati yang dirasakannya YJ semakin besar setiap kali bertemu dengan si Beha (dan pasti akan ketemu) karena kebetulan kantor dinasnya si Beha merupakan kantor tujuan dimana YJ harus melakukan laporan terhadap tugas-tugas administrasi kantornya.

Butuh waktu hampir setahun menggantung keputusannya, hingga akhirnya YJ memutuskan menceraikan Beha (dan saat ini dalam proses akhir).

Namun yang menjadi penyakit adalah kenyataan bahwa sampai detik terakhir YJ mengalami “luka batin” teramat dalam yang tidak mudah untuk pulih kembali, sehingga dia memutuskan untuk pindah kota mencoba kembali menata hidupnya.

~o0o~

Sebagai sahabat aku merasa geram pengen nyipokin sambil jambak-jambak si Beha atas perlakuannya terhadap YJ, kenapa begitu teganya dia menghianati suaminya, padahal secara Phisik YJ lebih ganteng lho dari RN, secara isi Dompet YJ jauh lebih tajir dari RN, secara sikap YJ bisa dianggap lebih cool dari RN, secara kesetiaan YJ sejauh ini lebih dari cukup setia dibanding RN..
hahahaha, kalau masalah urusan bawah selimut RN belum bisa membandingkan diri dengan YJ, sebab terus terang belum pernah mencoba istrinya hahahahaha...... Uedaan kalo kejadian!!!.

Dari kejadian ini, AKU mencatat beberapa hal yang harus diambil seorang suami apabila nasib sial menimpa anda karena istri atau pasangan anda kedapatan berselingkuh, cekkidot:

#1.Tahan diri anda, cobalah bersabar upayakan kendalikan emosi semaksimal mungkin, karena bila salah mengambil sikap dapat menyebabkan anda terjerat dalam masalah hukum yang malah semakin merugikan anda
(dalam hal ini sikap YJ layak diacungi jempol, mampu melakukan ini walaupun isi hati, jantung hingga bokong mungkin udah robek tersayat-sayat).

#2.Setelah mampu mengendalikan emosi, tanyakan secara langsung kepada istri/pasangan anda kalau bisa dihadapan orang tuanya minta untuk mengakui tentang perselingkuhan yang dilakukannya, lihat reaksi istri/pasangan anda dan tanggapan dari pihak keluarganya.

#3.Apabila langkah kedua telah anda lakukan, maka reaksi yang akan anda temukan baik dari istri atau pihak keluarga, akan menentukan sikap dan langkah yang harus anda ambil :

Apabila istri/pasangan anda menyangkal telah melakukan apa yang anda tuduhkan (bisa jadi karena takut dan malu karena dihadapan keluarganya sendiri) maka anda jangan memaksanya untuk mengakui secara emosional, tetaplah tenang dan ceritakan secara detil kejadian perselingkuhan yang anda saksikan dihadapan pihak keluarganya.

lalu sebagai penutup katakan mohon maaf bahwa untuk saat ini anda butuh waktu menenangkan diri dan sebaiknya dalam masa ini istri anda silakan tinggal kembali dengan pihak keluarga/orang tuanya.

Apabila Istri/pasangan anda tidak menyangkal dan mengakui perbuatannya, anda harus berusaha tabah dan upayakan tetap menjaga ketenangan diri anda, lalu tanyakan kepadanya satu pertanyaan saja yaitu “Apakah kamu mencintainya?”

Ketika istri anda menjawab “iya” atau “tidak” maka sikap/langkah yang anda ambil selanjutnya kembali kepada anda.

Jika rasa cinta anda padanya jauh lebih besar serta mampu menahan rasa sakit yang anda rasakan, maka anda akan mengambil langkah memaafkan, namun pada momen ini anda harus dapat membuat istri anda berjanji dihadapan keluarganya untuk tidak mengulangi kembali apa yang telah dilakukannya.

Namun jika rasa sakit yang anda rasakan jauh lebih besar dari perasaan cinta kasih dihati anda dan anda tipe orang yang tidak dapat memaafkan pengkhianatan, maka sebaiknya langkah yang anda ambil adalah ucapkan dihadapan keluarganya secara baik-baik bahwa mungkin inilah akhir dari jodoh anda dan istri anda sembari mengucapkan “saya ceraikan kamu” dan katakan pula “semoga kamu berbahagia”.

Upayakan tetap ucapkan dengan nada tenang walaupun dada rasanya hancur-hancuran.

~o0o~

Wejangan penulis yang layak anda ambil :

a.Apabila benar-benar mendapati langsung dan atau ada bukti/pengakuan perselingkuhan istri anda.

b.Sebelum mengambil langkah-langkah di atas, renungkan dan pertimbangkan dengan kepala dingin serta rasakan seberapa besar cinta kasih anda dibandingkan benci, sakit hati, luka batin dan pahami seberapa besar rasa maaf dihati anda jika harus memaafkan.

c.Jangan biarkan masalah berlarut, lakukan sesegeranya langkah-langkah diatas dan selesaikan dengan kondisi kontrol emosi yang baik, karena sikap ini dapat menjadi tamparan bagi istri anda dan keluarganya, serta akan membuat anda tetap dapat keluar dari permasalahan ini dengan kepala tetap tegak untuk menghindari semakin terpuruknya rasa harga diri anda.

d.Silakan Pilih opsi Balasan apa yang akan anda berikan padanya sebagai kompensasi sakit hati atau bagaimana cara anda menata hati untuk melupakan salah satu nasib tersial seorang suami dalam berumah tangga.

Kamis, 15 Februari 2018

Agama pertama di Indonesia

Kapitayan AGAMA PERTAMA di Nusantara, Bukti Seorang Nabi Pernah di Utus di Nusantara

SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI BERKEMBANG DI NUSANTARA?

Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah Kapitayan. Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sang Hyang Taya” yang bermakna hampa atau kosong. Orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat, “TAN KENA KINAYA NGAPA” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Untuk itu, supaya bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut “Tu” atau “To”, yang bermakna “daya gaib”, yang bersifat adikodrati.

Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno, kata “taya” artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, Tan Kena Kinaya Ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia ada tetapi tidak ada.

BAGAIMANA DASAR PEMAHAMAN AJARAN TERSEBUT?

Dalam sistem ajaran Kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sang Hyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk kekuatan gaib yang disebut “Tu”. “Tu” adalah bahasa kuno yang artinya benang atau tali yang menjulur. “Tu” inilah yang dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sang Hyang Taya.

“Tu” kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik dan sifat tidak baik. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun dalam satu kesatuan. “Tu” yang baik disebut Tuhan, dan “Tu” yang tidak baik disebut Hantu.

“Tu” bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang terdapat kata-kata ‘tu’. Seperti wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban, dan sebagainya, yang menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari “tu” yang bersemayam. Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman purba sekali.

DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM APAKAH WALISONGO MENGADOPSI KAPITAYAN?

Memang Kapitayan ini diadopsi oleh Wali Songo untuk menyebarkan Islam. Karena selama 850 tahun Islam tidak bisa masuk pada kalangan pribumi yang mayoritas penganut Kapitayan. Karena apa? Karena para saudagar muslim menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas singgasana bernama Arsy. Lho, itu kan seperti manusia?. Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu. Bagaimana Tuhan duduk, itu kan sama seperti manusia?

LALU PRINSIP AJARANNYA BAGAIMANA ?

Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Nah, pada jaman Wali Songo, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa kamitslihî syai’un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadits yang artinya sama dengan Tan Kena Kinaya Ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.

Wali Songo juga menggunakan istilah ‘sembahiyang’ dan tidak memakai istilah shalat. Sembahiyang adalah menyembah ‘Hyang’. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti langgar-langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan ‘shaum’ karena masyarakat tidak ngerti tapi menggunakan istilah ‘upawasa’ kemudian menjadi puasa.

Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng. Jadi, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Nusantara akan menolak.

Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.

MENURUT PERSEPSI ANDA, APA YANG DISEBUT KEJAWEN?

Kata Kejawen secara gramatika kebahasaan saja sudah salah. Dalam bahasa Jawa, tidak ada kata Kejawen.

Sebetulnya Kejawen diberikan kepada kelompok hasil reformasi yang dilakukan oleh Syaikh Lemah Abang di daerah pedalaman. Reformasi dari masyarakat “kawulo” yang artinya budak menjadi masyarakat merdeka sehingga menimbulkan konflik dengan Kesultanan Demak Bintoro.

Syaikh Lemah Abang membentuk banyak sekali Desa Lemah Abang, dari daerah Banten sampai daerah ujung timur Jawa. Para pengikut Syaikh Lemah Abang umumnya menentang tradisi Kesultanan Demak Bintoro.

Dalam buku Negara Kerta Bumi disebutkan bahwa Syaikh Lemah Abang pernah tinggal di Baghdad selama tujuh belas tahun. Oleh karena itu, pemahaman dia terhadap sistem kekuasaan banyak terpengaruh oleh sistem kekuasaan di Baghdad.

Ketika balik ke Nusantara, dia melihat realita Kesultanan Demak Bintoro yang masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit Wilwatikta. Jika ada masyarakat yang akan menghadap sultan atau raja diharuskan nyembah dulu yang oleh Syaikh Lemah Abang dianggap tidak benar. Sebab ketika Syaikh Lemah Abang menghadap sultan maupun raja, dia tetap dengan posisi berdiri, tidak nyembah, dan sejak itu dia melarang masyarakat menyembah jika menghadap sultan.

Pokok ajaran KAPITAYAN:

"Hamemayu Hayuning Bawono: Menata Keindahan Dunia".
Kapitayan, Agama Universal Dari Tanah Jawa.

Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan Tuhan. Para leluhur kita dulu SUDAH SADAR DIRI, jauh sebelum ajaran agama baru yang di import dari Timur Tengah, India dan China hadir di Nusantara.

Para beliau merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu, nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat (kenyataan) Tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukan-Nya.

Orang Jawa di masa lalu telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri. Tuhan-lah yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.
Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji).
Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun), juga menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama mempunyai konteks yang sama dengan ujung MONOTHEISME (Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.
Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran mereka biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya. Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang (termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu.

Jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai suatu kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan kepada Sang Hyang Taya sebelumnya. Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan Adikodrati yang supranatural. Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (Niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati.
Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sang Hyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya. Demikianlah, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang Hyang Tunggal. Karena itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah seperti Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat, maka di Kapitayan praktek di atas adalah proses ibadah tingkatan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para ‘ulama’-ulama’ sufi’ nya Kapitayan, mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk(lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan’ Sang Hyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang ke-aku-an diri). Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian dilanjutkan dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu dilanjutkan lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki), dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem (bersujud). Sedangkan tempat ibadahnya disebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan. Kalau Anda kesulitan membayangkan tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda dengan langgar/musholla di desa-desa pada umumnya.

Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin kerajaan Nusantara).
Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebutWisaya. Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka. Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara. Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta yang bersifat kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara yang awal untuk menganut Vaishnava. Hanya saja, sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak dihilangkan. Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-TU atau dha-TU. Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-benda yang ber-TU-ah.
Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Dan ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah di tekan hebat oleh para tamunya. Contohnya ketika zaman kerajaan Kadhiri, penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke gunung Klothok dan gunung Wilis (artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar disana, sebagian dibawa kaum penjajah ke Leiden dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden-Belanda sana). Lalu di zaman kerajaan Tumapel/Singosari kejadiannya pun sama, penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke pesisir selatan tanah Jawa. Selanjutnya di zaman kerajaan Demak, penganur agama Islam  yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir di zaman Kolonoial, penganut agama Nasrani mendapat tempat elite di sosial kemasyarakatan dan lainnya.

Sungguh, jika Anda mau bertanya seberapa ramah dan besarnya pengorbanan suatu peradaban menerima perubahan? Itu hanya milik peradaban tanah Jawa di Nusantara. Andai saja mereka bersikukuh pada keyakinannya dan mengabaikan nilai universal yang dipahaminya, saya amat yakin bahwa TIDAK AKAN ADA AJARAN AGAMA IMPORT BEGITU MUDAHNYA MASUK DI TANAH JAWA, bahkan tanpa pertumpahan darah. Justru yang belum yakin itulah yang bertanya dan kearifan tanah ini menjawab dengan bahasa semesta. Ketika agama Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dikagumi seluruh dunia dan dijadikan tempat pendidikan kelas dunia di masanya. Hal yang sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Kemudian agama Islam bahkan dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisongo sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan lainnya, dan kini timbullah dengan apa yang dikenal dunia kini dengan sebutan Islam Nusantara.

Tapi, ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus seperti aslinya dimana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan yang nyata. Dan ketika ada orang yang menganggap adalah sempurna bila agama dijalankan sejurus dengan adat dimana ia diturunkan. Maka JAWABANNYA ADALAH SALAH BESAR, karena tata nilai agama itu bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada suatu komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan mimpi untuk bisa hidup sempurna jika memaksakan sesuatu – terutama keyakinan – tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat. Sebab, getaran semestanya (nyata dan gaib) akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang keliru dan bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Dan Tuhan itu adalah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengkerdilkan keperkasaan-Nya itu dengan mengatakan “Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja”?. Sungguh aneh.
“Akan tiba waktunya di tanah Nusantara ini bangkit kembali ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di tanah Jawa, tetapi membawa pengaruh bagi seluruh dunia. Ajaran itu sangat indah karena di dalamnya terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu, mengabdi kepada Dzat Yang Maha Mulia, dan tunduk hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang telah dikabarkan di dalam kitab suci semua agama besar dunia”
Wahai saudaraku. Semoga kita tetap bisa menjadi pribadi yang tidak berpikiran picik atau fanatik yang buta, karena itu hanya akan menyusahkan. Bahkan jika terus dipertahankan, maka kehidupan pun akan semakin kacau, karena kepicikan dan fanatik itu sendiri adalah sumber dari kebodohan. Bersikaplah bijaksana disertai hati yang lapang, dengan begitu tujuan hidup di dunia akan tercapai.

#MamayuHayuningBawanaAmbrastaDhurHangkara

Adzan : Panggilan gangguan atau Panggilan Kewajiban

*ADZAN tak perlu TERIAK TERIAK DAN PAKAI PENGERAS ? Jwbn cerdas*

Mengapa adzan harus dikumandangkan keras-keras? Pakai speaker pula. Apa tidak mengganggu yang lain yang bukan orang muslim?
Ada sebuah cerita menarik yang diceritakan seorang teman melalui aplikasi perbincangan di grup WhatsApp. Berikut kisahnya.
***
Adalah teman saya, yang kebetulan non muslim, bertanya kepada saya, “Kenapa kalau adzan harus dibunyikan keras-keras dengan speaker pula?”.
Saya yang bukan ahli agama kemudian berpikir sejenak mencari jawaban yang mudah dicernanya, menjawab seperti ini “Bro, adzan itu adalah panggilan sholat, pasti dong namanya panggilan tidak mungkin dengan cara yang sama seperti berbicara atau berbisik-bisik”.

Teman saya membalas “Tapi kan di orang-orang sekitar tidak semuanya muslim?”.
Saya jawab lagi “Benar. Bro, kita sekarang sedang ada di bandara, dengar kan announcement bandara selalu memberikan panggilan boarding? Apakah kamu juga mempertanyakan ke mereka mengapa melakukan panggilan boarding pesawat YANG LAIN keras-keras padahal bukan panggilan pesawatmu?”
Dia tersenyum namun membalas lagi “Tapi kan hari gini semua orang sudah tahu dengan teknologi jam berapa waktu sholat apa, apa masih harus adzan keras-keras?”.
Saya pun kemudian menjawab “Ya setiap penumpang juga kan sudah tau jadwal penerbangannya sejak pesan dan memegang tiket, kemudian check-in, sudah tercetak jadwal keberangkatannya di boarding pass, sudah masuk ruang tunggu, tapi tetap bandara melakukan panggilan boarding bukan?
Dan ada satu hal lagi mengapa adzan harus dikumandangkan, itu bukan hanya sebagai penanda sudah masuk waktu sholat tapi benar2 panggilan sholat, karena kami harus menyegerakan sholat.
Sama halnya semua penumpang harus menyegerakan masuk pesawat setelah panggilan boarding, walaupun masih ada waktu naik pesawat sampai pesawat tutup pintu”.
Kali ini senyumnya bertambah lebar, lalu dia setengah memeluk aku sambil menepuk-nepuk bahuku dan berkata “Super .. I got it bro“

Nb.
Masih bnyk orng tdk rela ketinggalan Pesawat *dibanding* ketinggalan Sholat

Bahkan lebih rela menunggu pesawat yg belum datang *dibandingkan* menunggu Azan datang.ayo kita share rame2 di wall biar yg kepanasaan dengar adzan mudah2an mata hatinya terbuka

والله اعلم...

Selasa, 13 Februari 2018

Kejujuran membawa berkah

*P E S A N   A L A M*

Kalau ingin menangkap ayam,    *jangan dikejar* nanti kita akan lelah dan ayampum makin menjauh. Berikanlah ia beras dan makanan, nanti dg mudah ia datang dengan rela.

Begitulah Rejeki, *melangkahlah dg baik, jangan terlalu kencang mengejar, ngotot memburu.* nanti kita akan lelah tanpa hasil.  *Keluarkan lah sedekah, nanti *Rezeki akan datang menghampiri tepat waktu.*

Kalau ingin *memelihara* kupu-kupu,
Jangan tangkap *kupu-kupunya,*
pasti ia akan terbang.

Tetapi *tanamlah* bunga​.
Maka *kupu-kupu*
akan datang sendiri
dan *membentangkan* sayap-sayapnya yang *indah.*

Bahkan *bukan hanya* kupu-kupu yang datang,
*tetapi kawanan* yang lain juga datang :
*lebah,*
*capung.*
*dan lainnya*,
*juga akan datang*
*menambah* warna warni keindahan.​

Sama halnya dalam *kehidupan* di dunia ini.
​Ketika kita menginginkan​
*Kebahagiaan* dan *Keberuntungan,*

Tanamkan *kebaikan* demi *kebaikan,* *kejujuran* demi *kejujuran,*

*Maka kebahagiaan dan keberuntungan akan datang karena dianugerahkan oleh Allah.*

Oleh karena itu,
selagi kita masih *diberi* hidup,​
mari kita membangun *taman-taman bunga kita,*
bunga kebajikan dan bunga kejujuran...


Cibinong,  12 Februari 2018